BELAJAR MEMBUAT MAKANAN THAILAND NGAJIKOK BERKUNJUNG KE CLC WAT ARUN

Pagi hari sabtu, 17 Maret 2018, sebanyak tigapuluh orang Jamaah Ngajikok berkunjung ke Community Learning Center (CLC) yang berlokasi di kompleks Wat Arun Rajawararam (Temple of Down), Bangkok, pimpinan Bapak Gunawan Hartanto. Ngajikok ini merupakan singkatan dari “Mengaji di Bangkok”, adalah sebuah komunitas pengajian yang beranggotakan mahasiswa muslim Indonesia yang sedang menempuh studi di Bangkok-Thailand (Chulalongkorn dan Mahidol University). Kelompok-kelompok pengajian ini tersebar juga di beberapa perguruan tinggi di Thailand, seperti Ngajimood (KMUTT), NgajiLaya (Mahidol University Salaya), NgajiKU (Kasetsart University), Ngajikhun AIT, dan Ngajikhun (PSU).

Salah satu pelatihan yang diikuti oleh para anggota Ngajikok adalah membuat makanan dan kue khas Thailand yaitu Kanom Tako dan Kai Ho Bai Toei. Pelatihan ini sangat menarik karena para peserta terlibat langsung dalam proses persiapan dan pembuatannya. Proses tersebut juga didampingi langsung oleh instruktur dan para siswa CLC, sehingga proses praktik bisa berhasil dengan baik. Dua jenis makanan yang dibuat ternyata memiliki aroma dan rasa yang khas, sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi para penikmatnya.

Program pelatihan membuat makanan khas Thailand ini merupakan salah satu dari sekian banyak program CLC yang ditawarkan kepada publik. CLC sendiri merupakan lembaga sosial yang didirikan oleh Bapak Hartanto yang hingga saat ini masih memimpin lembaga tersebut. Berikut adalah catatan tentang CLC berdasarkan informasi dari beliau.

CLC dan misi sosial pendirinya

CLC yang memiliki nama lengkap Wat Arun Rajawararam (Temple of Down) Community Learning Center for Development of Humanity Center for Buddha Dhamma Practice and International Charity, merupakan suatu tempat pelatihan bagi para korban human trafficking di Thailand. Banyak diantara mereka yang ‘dipekerjakan’ di daerah tertentu di wilayah Thailand dengan pengawasan ketat para mafia dan merupakan korban human trafficking baik dalam maupun luar negeri Thailand. Beberapa diantara mereka ada yang berhasil melarikan diri dan beberapa ada yang dijual dengan beberapa puluh ribu baht. Bahkan ada juga yang dijual oleh orang tuanya sendiri dengan harga yang sangat tidak layak. Hal inilah yang memperkuat Pak Hartanto untuk membangun dan mengembangkan CLC ini.

CLC ini didirikan oleh Pak Hartanto benar-benar mulai dari nol. Beliau mendapatkan uang hasil dari beliau menjadi supir dan membimbing meditasi turis-turis yang ingin bermeditasi di Wat Arun. Sampai suatu hari, beliau bertemu keluarga berkewarganegaraan Amerika yang ingin mengadopsi anak yang Thailand korban human trafficking. Beliau dengan senang hati membantu mengurus segala prosedur dan legalisasinya hingga anak tersebut berhasil diadopsi oleh keluarga tersebut. Berkat jasanya tersebutlah Pak Hartanto ditawari bantuan dari Amerika. Sumber dana tersebut ia kelola dan kembangkan dalam bentuk pendidikan formal dan non-formal untuk anak-anak korban human trafficking.

Pendidikan formal yang diberikan oleh CLC ini kepada anak-anak human trafficking adalah sekolah perawat. Dengan bekerja sama dengan Siam University dan salah satu rumah sakit di Thailand, Bapak Hartanto berharap anak-anak bimbingannya tersebut dapat menjadi perawat. Mengapa perawat? Karena dengan menjadi perawat, derajat mereka akan naik dan mereka akan dipatuhi. “Seberapa tinggi pun jabatan seseorang namun ketika dia sakit maka dia akan menuruti kata-kata dari perawatnya. Tidur ya tidur, minum obat ya minum obat,” jawabnya dengan sedikit tertawa. Segala pendidikan yang diberikan kepada anak-anaknya benar-benar gratis.

Di sisi lain, anak-anak tersebut juga diberi pendidikan non-formal seperti berbagai macam ekstrakurikuler dan kegiatan kedisiplinan. Mereka diajarkan untuk bermeditasi, beberapa keterampilan berbahasa asing, memasak masakan Thailand, mengukir buah dan sabun, dan tarian tradisional Thailand. Dengan keterampilan-keterampilan tersebut, Pak Hartanto menjamin bahwa seluruh anak-anak bimbingannya merupakan anak-anak yang disiplin dan terampil. Dibuktikan dengan adanya beberapa kerja sama dengan beberapa kedutaan besar Kerajaan Thailand di beberapa negara dan beberapa perusahaan. Setiap tahunnya beliau juga selalu mendapatkan penghargaan atas apa yang dilakukannya ini. Mulai dari pemerintah Thailand, sampai dari luar negeri seperti Indonesia, Amerika dan UNESCO. UNESCO juga telah mengakui bahwa komunitas ini merupakan pertama dan satu-satunya lembaga sosial yang berhasil dalam kegiatan sosial dan pendidikannya.

Untuk kedepannya, Pak Hartanto berharap bahwa akan semakin banyak lagi pihak yang akan terlibat dalam penyelesaian masalah human trafficking ini. Terlebih lagi, saat ini beliau sedang membangun sebuah proyek juga dengan menggandeng pemerintah Indonesia untuk membuka komunitas serupa di Indonesia dengan nama “Borobudur Project Thai Cultural Center”. Beliau berharap “Semoga saudara-saudara saya di Indonesia yang menjadi TKI tidak akan mengalami hal serupa seperti di Thailand,” ujar pria yang sampai saat ini masih menjadi WNI meskipun telah 3 kali diminta untuk mengubah kewarganegaraannya oleh pemerintah Thailand ini. “Saya merasa berhutang budi pada Indonesia, saya besar di Indonesia. Saya juga ingin membuktikan bahwa orang Indonesia mampu memberikan manfaat kepada dunia,” imbuhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *